Jejak Kerajaan Hindu di Aceh

Jejak Kerajaan Hindu di Aceh

Berjarak sekitar 36 kilometer dari kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, areal ini terletak di sisi kiri Jalan Krueng Raya. Membutuhkan waktu sekitar 30 menit mengendarai kendaraan roda empat yang dipacu rata-rata 60 km/jam.
Hanya jalan setapak yang bisa dilewati satu mobil menuju ke kaki bukit. Berbatu. Setelah itu ada semak belukar yang harus dilalui saat mendaki ke puncak bukit Lamteuba, Lamreh, Masjid Raya, Aceh Besar.

Tiba di puncak berasa berdiri di pos penjagaan kota pinggir pantai. Semua aktivitas di bawahnya terawasi dengan mudah. Bahkan undakan yang di sana-sini terdapat batu mirip tembok kokoh seperti menegaskan bukit ini adalah bangunan kuno yang menyimpan rahasia sejarah.

Kesan itu makin kuat sebab ada bebatuan tertata rapi seperti susunan dinding. Sebagian besar tatanan tertimbun tanah ditumbuhi rumput liar di kawasan gersang yang mirip atap gedung terlantar.

Beragam tembikar berserak di sela-sela batu kapur. Di antaranya diduga terbuat dari tanah liat berwarna coklat kemerah-merahan, ada juga berbahan keramik hijau muda dan kuning agak gelap. Beberapa tembikar berhias lukisan ornamen bunga.

Pecahan beling itu tak hanya di puncak bukit, tetapi berserak di hampir seluruh area hingga ke jalan setapak. Di sini juga ada batu nisan berukir kaligrafi Arab dipadu ornamen bunga.
Terkubur tepat di bukit inilah tersembunyi kepingan-kepingan Kerajaan Lamuri.

Catatan dari China

Keberadaan Kerajaan Lamuri diduga ada sejak terbentuknya jaringan lalu lintas internasional.
Sejumlah penulis telah mencatatnya sejak abad ke-8. Di antaranya penulis Arab, Ibnu Khordadhbeh (844-848), menuliskan Lamuri dengan nama Ramni. Dia menyebut Lamuri tempat kapur barus serta hasil bumi.
Sejumlah catatan dari China menyebutkan Lamuri (Lan-wu-li) sebagai jajahan Sriwijaya (San-fo-ts’i). Cerita ini terdapat dalam tulisan Chau-Yu-Kwa dalam bukunya Chu Fan-Shi yang terbit pada 1225 Masehi.

Buku ini menukilkan Lan-wu-li belum menganut Islam. Sehari-hari sang raja mengendarai gajah. “Di istananya ada dua ruangan untuk menerima tamu.”
Cerita Chau-Yu-Kwa berbeda dengan Marco Polo yang pernah singgah ke Pulau Sumatera pada 1292. Dia menemukan Kerajaan Lamuri yang tunduk pada Kaisar Cina dan wajib membayar upeti.

Keterangan Marco Polo sesuai dengan buku Dinasti Ming yang mencatat pernah mengirim sebuah cap dan surat ke Lam-bu-li pada 1405 M. Enam tahun kemudian, kerajaan Lamuri mengirim utusan ke China berikut dengan upetinya.
Laksamana Cheng Ho pun pernah singgah ke Lamuri untuk memberikan hadiah dari China pada 1430.

Beragam cerita menarik itulah yang menggoda minat ilmuan untuk meneliti Kerajaan Lamuri. Misalnya, M. J. C. Lucardie dalam bukunya berjudul "Mevelies de Lindie", penerbitan van der Lith pada 1836, menuliskan tentang Lamreh yang dikatakan peninggalan Kerajaan Lamuri.

Belakangan, peneliti Inggris, E. Edwards McKinnon, menelusuri bukit Lamreh usai tsunami 2004, sebelumnya pada 1975 dia juga sempat menelusuri jejak Sejarah Aceh. Aktivitasnya diceritakan dalam sebuah makalahnya tentang Sejarah Aceh. Dia bilang Lamreh adalah wujud pemukiman kuno yang jejaknya masih terkubur.

“Puing-puing bersejarah tersingkap saat bulldozer sedang membuka lahan di kawasan Lamreh pada 2011,” begitu Edwards menulis.
Selain temuan beling, masih menurut tulisan Edwards, sebuah penelitian mengungkap jejak tsunami kuno yang terjadi pada 1390 dan 1450. Diperkirakan beberapa kawasan Lamreh hancur digulung tsunami.

Kendati demikian, kepingan pemukiman kuno masih berjejak. “Kami turun ke pantai di Lhok Cut dan di sana langsung menemui banyak beling tembikar, bekas crucible (tempat pemasakan logam) dan batuan keramik Cina dari masa Yuan (1278-1360 M),” tulis Edwards.

Berbagai temuan itu menambah keyakinan Edwards bahwa Lamreh pemukiman yang cukup ramai. Bahkan, dari jejak yang ditemukan menggambarkan Lamuri berada dalam lalulintas perdagangan dunia di masa itu.

Siapa yang memimpin Kerajaan Lamuri?

“Dari beberapa catatan, Lamuri dipimpin putra Raja Harsya yang melarikan diri dari Srilanka. Dia kalah perang melawan Bangsa Huna tahun 604,” begitu kutipan dari buku Ragam Citra Kota Banda Aceh yang ditulis Dr. Kamal A. Arief, seorang dosen di Unpar Bandung yang ikut mempelajari arsitektur bangunan kuno di Banda Aceh, salah satunya Lamuri.
Dalam bukunya itu, Kamal mengutip hikayat Aceh yang menyebut raja Lamuri bernama Rahwana.

“Nama Rahwana memperjelas hubungan Lamuri dengan Srilanka karena Rahwana dalam cerita Ramayana adalah Raja Srilanka,” kata Kamal.
Adapun Direktur Pusat Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya Universitas Syiah Kuala-Banda Aceh, Doktor Husaini Ibrahim, lebih suka menyebut Lamuri sebagai Kerajaan Indrapurba.

“Dalam perkembangannya lebih dikenal dengan Kerajaan Lamuri. Penyebutan itu karena letaknya berada di Lamreh Krueng Raya, Aceh Besar. Jadi orang condong menyebut Kerajaan Lamuri,” katanya.

Catatan kebesaran Lamuri, menurut Husaini, bisa dilihat pada prasasti Tanjore di India. Dari sini tersembul kisah Raja Radjendra Cola menyerang Illamuridesang (Lamuri) pada abad ke-11. Disebutkan Lamuri sebagai Kerajaan Hindu yang memiliki pertahanan sangat kuat.

Sebagai bukti kedigdayaan Kerajaan Lamuri, Husaini menunjuk tiga artefak di Aceh Besar, yaitu Indrapatra di jalan Krueng Raya, tak jauh dari pusat kerajaan Lamuri.

Kemudian Indrapurwa di Ujong Pancu, Lamteh, Ulee Lheue dan terakhir di Indrapuri. “Jika ditarik garis maka cenderung berbentuk segitiga sama sisi,” katanya.

Hasil penelitian Husaini, di artefak itu dia mendapatkan atap berbentuk blok. “Ini ciri khas Hindu. Jadi juga berfungsi sebagai tempat ibadah,” katanya.
“Ciri khas lainnya tentang hindu adalah formasi tiga segi posisi bangunan. Termasuk penamaannya.”





 
 
 
Download aplikasi messenger karya anak bangsa :
Our Social Media
#paddytalk #karyaanakbangsa #aplikasimessenger #bhinnekatunggalika #aplikasiindonesia 

Comments

Popular posts from this blog

Olahraga Teratur Bisa Perlambat Penuaan

Peneliti Temukan Fakta Mengenai Rendang

5 Stadion di Indonesia yang Bergaya ala Stadion Eropa