Menyantap Sagu di Hutan Tambrauw Sambil Belajar Cara Membuatnya

Sagu diolah dari pohon rumbia di Kampung Numbrat, Distrik Kebar, Kabupaten Tambrauw.Tempo/Francisca Christy Rosana


Tambrauw - Sagu merupakan penganan wajib pengganti nasi bagi masyarakat di bagian timur Indonesia, secara khusus Papua. Sagu diolah menjadi beragam bentuk penganan, seperti papeda dan sagu bakar.
Sekilas, sagu yang sudah jadi penampakannya mirip dengan tepung tapioka. Bentuknya bubuk putih seperti bedak tabur. Proses pembuatan sagu dari pohon rumbia menjadi bahan baku siap diolah ternyata cukup panjang.
Di pedalaman Papua Barat, tepatnya di Kampung Numbrat, Distrik Bikar, Kabupaten Tambrauw, sagu diolah secara manual. Prosesnya hampir seluruhnya dilakukan menggunakan tangan manusia.

Tempo berkesempatan belajar cara membuat sagu langsung di distrik tersebut pada Selasa, 15 Mei lalu. Pembuatan dilakukan langsung di kebun sagu. Letaknya cukup pelosok, melewati hutan-hutan rapat dan semak belukar. Jalan pun belum terbuka.

Penduduk lokal membantu Tempo melewati hutan rapat itu dengan menebas batang yang melintang. Di sepanjang jalan dapat ditemui pohon nanas berbuah dengan dedaunan berduri yang menjalar.

Titik pembuatan sagu dari jalan raya Distrik Bikar kira-kira ditempuh dalam waktu 30 menit berjalan kaki. Permukaan tanah basah, rawa-rawa , dan sungai kecil pun harus dilewati untuk menuju tempat pembuatan sagu.
Sesampainya di kebun sagu, terlihat aktivitas satu keluarga yng tengah memproses sagu. Kebun itu milik keluarga Sekretaris Kampung Numbrat, Distrik Kebar, Musa Yekese. Musa dan beberapa kerabatnya sedang sibuk mengolah rumbia.

Pada sisi paling muka, seorang laki-laki tampak tengah menguliti batang pohon rumbia. Bagian dalamnya ditempa menggunakan kapak kayu sehingga hancur membentuk serabut.

Serabut kayu rumbia itu lalu dicampur dengan air dan diperas seperti sedang membuat santan. Seorang mama yang menggendong anaknya tampak memeras bubuk bakal sagu tersebut di atas papan. Airnya akan mengalir melewati pipa kayu.

Menikmati sagu yang dililit daun gedi. Istimewa


Air tersebut lantas diwadahkan ke dalam ember dan dikentalkan. Setelah itu, sagu dipanaskan dan terus diaduk sehingga membentuk kristal dan hasil akhirnya menjadi sagu.

Pohon rumbia yang ditebang menjadi sagu biasanya dipilih yang sudah tua. Usianya kira-kira 7 tahun.
Selepas membuat sagu, Tempo diajak menyantap sagu langsung di kebunnya. Sagu yang sudah menjadi bubuk akan dimasukkan ke dalam bilah bambu dan ditutupi dengan daun gedi. Bambu itu dibakar sampai permukaannya gosong. Selagi panas, bambu disajikan.

Cara menyajiannya ialah dibelah atau diketok salah satu bagiannya yang berlubang. Niscaya, sagu berbalut daun gedi itu akan keluar. Kami menyantapnya langsung di atas pohon pisang.

Daun gedi adalah daun hutan sejenis singkong. Namun teksturnya lebih lembek mirip kangkung. Gedi dimasak dengan sagu tanpa bumbu apa pun. Rasanya tawar, tapi tetap terasa segar. Gedi dan sagu disantap bersama singkong atau kasbi dan ayam hutan yang direbus di dalam bilah bambu.
Suara serangga hutan, kicau burung kakaktua raja, tawa anak-anak lokal, dan embusan daun-daun pohon rumbia menyempurnakan santap sagu sore itu.


sumber : Tempo.co

Download aplikasi messenger karya anak bangsa :
Our Social Media
#paddytalk #karyaanakbangsa #aplikasimessenger #bhinnekatunggalika #aplikasiindonesia

Comments

Popular posts from this blog

Olahraga Teratur Bisa Perlambat Penuaan

Peneliti Temukan Fakta Mengenai Rendang

5 Stadion di Indonesia yang Bergaya ala Stadion Eropa