Desa Warisan Budaya UNESCO Ini Ada di Atas Awan

Desa Warisan Budaya UNESCO Ini Ada di Atas Awan


Enam tahun silam, desa ini mendapat penghargaan Warisan Budaya Asia-Pasifik UNESCO. Penghargaan ini sebagai pengakuan atas upaya masyarakat setempat untuk memulihkan dan melestarikan struktur dan bangunan rumah Mbaru Niang yang unik meskipun ada kesulitan dan tantangan. Adalah Desa Wae Rebo di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur yang mendapat penghargaan tersebut.
Pemberian penghargaan untuk Desa Wae Rebo di Jakarta | Foto: Dok. UNESCO
Pemberian penghargaan untuk Desa Wae Rebo di Jakarta | Foto: Dok. UNESCO
Wae Rebo adalah kampung tradisional yang terletak di dusun terpencil dengan ketinggian 1.117 MDPL. Inilah yang membuatnya disebut-sebut sebagai desa di atas awan yang suhunya bisa mencapai sekitar 15 derajat celcius di pagi hari. Tak sulit untuk jatuh cinta pada kampung ini. Pengunjung dapat merasakan keunikan budaya, adat istiadat, keramahan warga serta kearifan lokal yang masih kental di sini.
Namun, untuk mencapainya pengunjung harus menempuh perjalanan sekitar 6 kilometer dari Desa Dintor ke Desa Denge dengan menggunakan kendaraan. Lalu sekitar 3-4 jam dari Denge menuju Wae Rebo dengan mendaki sekitar 9 kilometer.
Eits, jangan menciut dulu! Selama pendakian, pengunjung akan ditemani eloknya alam di sepanjang jalan. Sawah nan subur, pesisir yang cantik, hingga hutan rimbun. Di hutan ini juga akan ada warga setempat yang berlalu lalang untuk beragam keperluan.
Meski susah untuk mencapainya, pengunjung akan langsung dimanjakan pemandangan alam berupa gunung-gunung berpadu dengan 7 rumah adat berbentuk kerucut sesampainya di Desa Wae Rebo. Di Wae Rebo, pengunjung juga bisa menumpang Mbaru Niang milik warga setempat jika ingin menginap. Biasanya, satu rumah bisa dihuni 6-8 keluarga.
Rumah adat Mbaru Niang di Desa Wae Rebo | Foto: budaya-indonesia.org
Rumah adat Mbaru Niang di Desa Wae Rebo | Foto: budaya-indonesia.org
Wae Rebo adalah satu-satunya desa tradisional Manggarai yang masih mempertahankan Mbaru Niang. Sebenarnya masih ada lagi di Todo, namun di sana rumah tersebut hanya berdiri gagah tanpa ditinggali orang di dalamnya.
Mbaru Niang ini berbentuk kerucut dan meruncing ke atas. Menurut Fransiskus Mudir, Pimpinan Wae Rebo Tourism Organization, bentuk mengerucut ini merupakan simbol dari perlindungan dan persatuan antarmasyarakat Wae Rebo. Sedangkan lantainya yang melingkar melambangkan sebuah harmonisasi dan keadilan antarwarga dan keluarga di dalam Mbaru Niang.
Denah dalam Mbaru Niang | Foto: Daily Voyagers
Denah dalam Mbaru Niang | Foto: Daily Voyagers
Warga Wae Rebo sudah menempati Mbaru Niang sebelum abad ke-18. Bangunan ini terus dijaga warganya secara turun-temurun tiap generasi. Tujuh rumah Mbaru Niang juga ternyata memiliki arti menghormati 7 arah gunung yang dipercaya melindungi Desa Wae Rebo.
Semua Mbaru Niang berdiri di tanah datar dan dibangun mengelilingi altar yang disebut Compang. Sebagai titik pusat ketujuh rumah, compang ini dipercaya sebagai bangunan yang sakral. Fungsinya adalah untuk memuji dan menyembah Tuhan serta para roh-roh nenek moyang.
Nama-nama Mbaru Niang | Foto: Daily Voyagers
Nama-nama Mbaru Niang | Foto: Daily Voyagers
Kegiatan Warga Desa Wae Rebo
Potret warga Wae Rebo | Foto: Indonesia Kaya
Potret warga Wae Rebo | Foto: Indonesia Kaya
Salah satu yang masih dilakukan hingga kini adalah menenun yang hasilnya bisa dijadikan suvenir untuk para turis dan ada pula yang dipakai untuk kegiatan sehari-hari. Kain tenunan di sini bernama cura, juga memiliki motif Manggarai yang bewarna cerah.
Untuk pewarnaan kain tenun, masyarakat Desa Wae Rebo sudah ada yang menggunakan proses pewarnaan yang tidak lagi tradisional. Jadi, ada pewarnaan yang sudah terpengaruh oleh dunia luar. Namun, masih ada beberapa yang menggunakan pewarnaan dari alam.
Proses pembuatan kain tenun ruca | Foto: pikiran-rakyat.com
Proses pembuatan kain tenun cura di Desa Wae Rebo | Foto: pikiran-rakyat.com
Lama pengerjaan satu kain cukup beragam. Untuk yang berukuran kecil biasanya diselesaikan dalam kurun waktu satu minggu. Sedangkan, untuk kain yang seperti sarung dan dapat digunakan sebagai bawahan, biasanya tiga hingga lima bulan pengerjaan.
Jadi, lama dari proses penenunan tergantung dari ukuran kain. Semakin besar artinya proses penenunan semakin lama. Proses penenunan juga tergantung dari kegiatan mamak-mamak yang mengerjakan karena mereka tidak hanya beraktivitas menenun kain, tapi juga berkebun dan menjemur kopi.



Sumber:  



Download aplikasi messenger karya anak bangsa :
Our Social Media
#paddytalk #karyaanakbangsa #aplikasimessenger #bhinnekatunggalika #aplikasiindonesia
 

Comments

Popular posts from this blog

Olahraga Teratur Bisa Perlambat Penuaan

Peneliti Temukan Fakta Mengenai Rendang

5 Stadion di Indonesia yang Bergaya ala Stadion Eropa